Home » PEMBUKTIAN: “PUTUS” ATAU TIDAK?

PEMBUKTIAN: “PUTUS” ATAU TIDAK?

No comments

Kehebohan polemik Ba’alawi adalah karunia besar bagi umat Islam. Bahkan mungkin yang terbesar di era media sosial. Betapa tidak, bongkar-membongkar bohong-bohongan dan lucu-lucuan dari dua belah pihak sedemikian semarak. Sehingga (semoga) nalar umat Islam tersentak, betapa ampuh agama di(salah)- gunakan sebagai sarana pembodohan yang mengerikan!

Inti dari polemik Ba’alawi adalah pembuktian. Mengapa? Nasab Ba’alawi tidak termasuk kebenaran aksiomatik, bukan termasuk rukun iman, maka seharusnya menuntut pembuktian. Kedua, berbeda dengan sebagian trah lain, Ba’alawi lazim menggunakan nasab untuk menegaskan keunggulan kelompoknya demi otoritas keagamaan, kedudukan duniawi maupun cuan.

Inti dari logika, matematika dan sains adalah pembuktian. Oleh karena itu, jika disebarkan seluas-luasnya dan dimanfaatkan sebaik-baiknya, polemik Ba’alawi adalah kesempatan mencerdaskan kehidupan bangsa yang sedemikian berharga dan langka.

Dari satu perspektif, pembuktian dibagi menjadi dua, yaitu (1) putus (قطعي), tuntas, pasti, definitif, decidable, selesai, dan (2) belum/tidak tuntas.

Contoh pembuktian yang tuntas adalah terkait perbedaan pendapat antara seorang dosen UIN Sunan Kalijaga (Dr Yaser Arafat) versus pemimpin ulama sufi se-planet bumi (Habib Luthfi bin Yahya).

Ulama sufi sering dianggap sebagai ulama level tertinggi, karena dianggap telah “sampai” (وصول) kepada Allahu ta’ala. Apalagi orang nomor satu di komunitas ulama sufi sedunia! Begitu banyak karomah Habib Luthfi diceritakan, silakan periksa YouTube, termasuk kemampuan beliau dalam “ronsen kuburan”. Di YouTube, untuk menyebut satu kasus saja, Habib Luthfi dawuh tentang penghuni kuburan di Semarang. Yaitu bahwa Habib Hasan bin Thoha bin Yahya adalah KRT Sumodiningrat, lengkap dengan detail sejarah beliau.

Namun, Dr Yaser Arafat menyanggah klaim Habib Luthfi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, peneliti kuburan yang tidak punya ilmu “ronsen kuburan” itu menegaskan bahwa makam KRT Sumodiningrat adalah di Bantul, bukan di Semarang. Sepaket dengan itu, KRT Sumodiningrat adalah tidak termasuk trah Ba’alawi, bukan Habib Hasan bin Thoha bin Yahya.

Tidak ada sanggahan balik dari pihak Habib Luthfi bin Hasan bin Yahya. Temuan itu sungguh meyakinkan. Argumentasi Dr Yaser Arafat adalah apa yang dimaksud من البراهين القطعية.

Mari kita beralih ke polemik lain, yaitu Imaduddin Utsman al-Bantani versus Rumail Abbas. Pada kasus sebelumnya, di mana bukti lebih terang-benderang, kepalsuan makam dan sejarah Habib Hasan bin Yahya sebagai KRT Sumodiningrat mudah dibongkar secara putus. Zaman belum terlalu jauh berlalu, baru satu abad berlalu.

Nah, tentang ketersambungan nasab Ba’alawi itu tema pembuktian yang jauh lebih rumit. Jika dalam satu abad saja banyak pemalsuan sejarah dan makam, bagaimana dengan masa yang telah berlalu berabad-abad? Namun, dalam podcast bersama Rhoma Irama, Kyai Imad menegaskan bahwa dirinya haqqul yakin.

Saya sendiri menganggap penelitian Kyai Imad belum tuntas. Atau lebih tepatnya saya berharap polemik ini terus berlanjut, sehingga masyarakat terus belajar inti logika, matematika dan sains: PEMBUKTIAN.

Oleh: Ahmad Thoha Faz | penulis Titik Ba, penemu Matematika Detik, pencetus Ayat-Ayat Cerita

+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Bagikan artikel ini

Leave a Comment