Setiap 21 April, banyak dari kita merayakan Hari Kartini dengan berkebaya. Anggun, tentu. Sarat makna, jelas. Kebaya adalah warisan budaya—tenunan kasih ibu, jahitan sejarah, sulaman identitas perempuan Nusantara. Tapi cukupkah?
Kartini tidak dikenang karena pakaiannya, melainkan karena pikirannya. Ia menulis dalam sepi, melawan gelap dengan pena, menggugat nasib dengan suara nyaris tak terdengar. Maka tugas kita kini bukan sekadar melestarikan bentuk, tapi meneruskan semangatnya: bahwa perempuan berhak berpikir, bermimpi, menentukan hidupnya.
Saya punya kawan perempuan yang tiap hari berkebaya. Tapi ia kerap gusar jika melihat perempuan berkebaya mengenakan jilbab. “Budaya jangan dicampur dengan agama,” katanya.
Sebaliknya, seorang kawan lain yang berjilbab panjang protes ketika melihat perempuan berjilbab memakai kebaya. “Terlalu menonjolkan lekuk tubuh,” ujarnya. “Agama jangan dikompromikan dengan budaya.”
Keduanya, walau berbeda, sama-sama berangkat dari asumsi bahwa budaya dan agama saling bertentangan—seakan tak mungkin berdamai dalam satu tubuh perempuan.
Padahal bukan itu semangat yang hendak dihembuskan Kartini.
Kepada Ny. Abendanon, Kartini menulis bahwa ia ingin perempuan pribumi bebas dari kungkungan tradisi, tapi tak tercerabut dari akar. Ia tak ingin benturan, melainkan dialog—antara adat dan kemajuan, antara iman dan kebebasan.
Kartini adalah jembatan, bukan pagar. Ia tahu dunia bergerak maju, dan perempuan tak boleh dipaksa memilih antara masa lalu dan masa depan.
Maka di Hari Kartini ini, mengenakan kebaya boleh. Merawat budaya itu baik. Tapi jangan berhenti di situ. Karena menjadi perempuan merdeka bukan soal kain apa yang membalut tubuhmu—tapi pikiran apa yang kau perjuangkan, dan nilai apa yang kau bawa maju. Dan di sanalah, Kartini masih hidup.
Untuk lelaki, kaum “Kartono”, berhentilah menilai perempuan hanya dari pakaiannya. OK, bro?