Berbicara tentang perkembangan kajian hadis, wilayah Maghreb mempunyai daya tarik tersendiri. Literatur hadis Andalusia sangat populer di kalangan ulama, terutama karena magnetisme dialektika antara Ahl Rai dan Ahl Hadis. Interaksi antara Ahl Rai dan Ahl Hadits di wilayah Maghreb (khususnya di Andalusia) sangat terpolarisasi, sehingga mengarahkan para sarjana untuk mendalami lebih jauh persoalan dikotomi di antara mereka. Serta menyelidiki faktor penyebab berupa kondisi sosial pada saat itu. Selain pembahasan al-Ra’ī dan al-hadits, artikel ini fokus pada karya Maribel Fierro dalam buku The Transmission and Dynamics of the Textual Sources of Islam: Essays in Honour of Harald Motzki.
Sekelumit Buku Maribel fierro
Buku cetakan Brill yang dieditori oleh Nicolet Boekhoff-van der Voort dkk, ini memuat beberapa tulisan karya Carmen Becker, Herbert Berg, Maribel Fierro, Claude Gilliot, Andreas Görke. Selain itu juga tulisan Maher Jarrar, Martijn de Koning, Michael Lecker, Fred Leemhuis, Roel Meijer, Ulrike Mitter, Uri Rubin, Jens Scheiner, Gregor Schoeler, Abdulkader Tayob dan Gerard Wiegers. Dalam tulisannya yang berjudul Local and Global in Hadith Literature: The Case of al-Andalus, Maribel Fierro membahas tentang perkembangan hadis di Andalusia dari masa ke masa. Periodesasi perkembangan hadis di Andalusia terbabak dalam lima tahapan yaitu tahap penerimaan awal hadis (abad 2-3 H). Penerimaan kutubus sittah dan kemunculan ulumul hadis (abad 4 H), integrasi ulumul hadis dengan Malikisme dan Zahirisme (abad 5 H), tahap pemusatan dan penyeragaman (abad 6-7 H) dan tahap perubahan (paruh abad 7-9 H).
Lima Tahapan Perkembangan Hadis di Andalusia
Penerimaan awal hadis di Andalusia, mula-mula diawali dengan pengaruh kuat kekhalifahan Kordoba. Terutama tokoh kenamaan seperti Ibn Habib, Ibn Waddah, dan Baqi bin Makhlad. Proses penerimaan hadis di Andalusia cenderung tidak mendapat penolakan. Hadis di wilayah Andalus dibawa oleh muslim dari daerah pusat (Mekah-Madinah) bersamaan dengan upaya ekspansi wilayah Islam. Hadis di wilayah ini, menyebar dengan cukup pesat. Bahkan, pada p aruh abad ke 3 H, hadis berhasil menduduki posisi penting dalam pembuatan keputusan berkaitan dengan hukum (fiqh) di Andalusia.
Pada abad ke 4 H, mulai terdapat pengenalan atas kitab kutubus sittah dengan pengecualian atas Kitab Sunan Ibn Majah yang digantikan dengan Kitab Muwatta Malik. Sementara itu, terdapat keberlanjutan dari proses pengumpulan hadis oleh tokoh-tokoh hadis Andalusia seperti Qasim bin Asbagh. Pada waktu ini, euforia masyarakat muslim Andalusia untuk mempelajari hadis semakin menguat. Hal ini dibuktikan dengan kemunculan cabang ilmu ulumul hadis yang banyak diminati oleh para cendekiawan. Para hakim yang bermazhab Maliki menaruh perhatian lebih pada ulumul hadis. Sementara itu, pergolakan antara ahl hadis dan ahl ra’yi semakin berkurang. Pada masa ini pula, mazhab fiqh Zahiri (Zahirisme) mulai muncul setelah kegagalan masuknya mazhab Syafi’i di Andalusia.
Pada pembabakan ketiga, yaitu abad ke-5 H, terjadi integrasi ulumul hadis dengan mazhab Maliki dan Zahiri. Periode ini ditandai dengan hasil karya para ahli hadis Malikiyah seperti Abu Umar in Abd al Barr. Pada masa ini, muncul pula karya seperti Kitab Aqdiyat Rasul Allah oleh Ibn al Talla. Masa ini juga diwarnai dengan geliat politik pemerintahan dengan munculnya dominasi dari kekhalifahan Taifa yang berupaya menyaingi kekhalifahan Kordoba. Akibatnya, kekhalifahan Kordoba tidak lagi menjadi satu-satunya pusat keilmuan termasuk hadis. Meski demikian, masa ini dianggap sebagai masa emas perkembangan hadis di Andalusia.
Perkembangan di Masa Pertengahan
Setidaknya terdapat 147 ulama hadis atau muhadditsun yang mana 10 orang diantaranya merupakan ahli dalam bidang ilmu rijal. Beberapa di antara ahli hadis tersebut adalah Abu Umar in Abd al Barr, al ‘Udhri, Abul Walid al Baji, al Ghassani, al Sadafi, dan Ibn Hasm, penulis Kitab Fiqh al Muhalla yang kemudian menjadikan hadis memerankan peran penting dalam pengambilan keputusan hukum (fiqh) di Andalusia. Di antara para cendekiawan, ilmu hadis riwayat lebih mendominasi daripada ilmu hadis dirayat kecuali pada beberapa tokoh diantaranya adalah Malik bin Yahya bin Wuhayb dan Abu Umar al Safaqusi (kawasan Afrika Utara) yang merupakan murid dari Abu Nu’aym al Isbahani al Shafi’i.

Pada periodesasi keempat yaitu abad 6H, Khalifah Almohad Abu Ya’qub Yusuf melakukan komplain tegas kepada Abu Bakr al Jadd. Komplain perihal permasaahan-permasalahan fiqh yang memiliki banyak versi dan tidak memberi satu jawaban pasti sebagai solusi. Abu Bakr al Jadd mencoba menjelaskan adanya ikhtilaf. Namun khalifah tidak menerima jawaban tersebut. Pada akhirnya, masa ini dipenuhi dengan aksi “penyeragaman” atau “penunggalan” pemahaman hadis. Meski demikian, pengajaran hadis yang bersifat didaktik menjadi berkembang pesat. Salah satu karya pada masa ini adalah Qasida fi ‘Ulum al Hadith karya Ibn Farah al Ishbili.
Pengaruh Islam Pusat di Andalusia
Pada periode kelima yaitu paruh abad ke-7 hingga 9 H adalah masa keberlanjutan dan masa perubahan. Masa Dinasti Nasrid ini tren ulumul hadis tetap terus berlanjut. Pada masa ini masyarakat Muslim lebih menyukai ringkasan hadis yang dapat dibawa kemana pun. Akhirnya, mulai berkembanglah karya-karya baru yang dipopulerkan oleh tokoh-tokoh Mesir dan beberapa wilayah lain seperti Ibn Daqiq al Id dan Zayn al Din al ‘Iraqi. Dialektika perkembangan hadis di Andalusia menggambarkan adanya gap antara Islam pusat dan Islam lokal yang saling mempengaruhi satu sama lain. Maribel Fierro menggambarkan secara luwes pengaruh Islam pusat, terutama pada masa masuknya hadis di Andalus. Islam pusat cukup mencengkeram wilayah Andalus meski sebenarnya di waktu yang bersamaan, muslim Andalus tetap mengakomodasi nilai-nilai lokal. Hal ini setidaknya dibuktikan dengan munculnya paham Zahirisme yang dirasa paling sesuai dengan masyarakat Andalus di kala itu.
Oleh: Moh Alfian Ridhoi, S.Ag | Magister UIN Sunan Kalijaga | Musyrif Ponpes Diponegoro