Home » Tanya Nyai: Apakah Perempuan Harus di Rumah Saja?

Tanya Nyai: Apakah Perempuan Harus di Rumah Saja?

No comments

Pertanyaan (Reina bukan nama sebenarnya):

Apakah betul Islam mengkodratkan perempuan untuk di rumah saja? Sementara orang berpendapat bahwa perempuan itu mestinya di rumah, sehingga sebagian suami mewajibkan istrinya untuk di rumah saja. Bagaimana pandangan yang benar mengenai hal ini? 

Jawaban (Ustadzah Nurun Sariyah | UINKHAS Jember):

Berbicara soal kodrat seseorang, kita perlu memahami bahwa kodrat atau fitrah merupakan sifat bawaan, kuasa Tuhan, dan hukum alam yang melekat pada manusia.

Perempuan memang memiliki kodrat yang berbeda dari laki-laki, seperti memiliki rahim, mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui.

Namun demikian, baik perempuan dan laki-laki memiliki posisi setara di hadapan Allah sebagai manusia. Kewajiban untuk menyembah dan taat kepada Allah, serta hak untuk merasakan nikmat Allah sama bagi keduanya, termasuk dalam hal peran sosial.

Allah berfirman:

اِنَّ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمٰتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ وَالْقٰنِتِيْنَ وَالْقٰنِتٰتِ وَالصّٰدِقِيْنَ وَالصّٰدِقٰتِ وَالصّٰبِرِيْنَ وَالصّٰبِرٰتِ وَالْخٰشِعِيْنَ وَالْخٰشِعٰتِ وَالْمُتَصَدِّقِيْنَ وَالْمُتَصَدِّقٰتِ وَالصَّاۤىِٕمِيْنَ وَالصّٰۤىِٕمٰتِ وَالْحٰفِظِيْنَ فُرُوْجَهُمْ وَالْحٰفِظٰتِ وَالذّٰكِرِيْنَ اللّٰهَ كَثِيْرًا وَّالذّٰكِرٰتِ اَعَدَّ اللّٰهُ لَهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا 

Sesungguhnya muslim dan muslimat, mukmin dan mukminat, laki-laki dan perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan penyabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kemaluannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, untuk mereka Allah telah menyiapkan ampunan dan pahala yang besar (QS: Al-Aḥzab [33]:35).

Dengan datangnya Islam, perempuan yang dulunya tidak diperlakukan secara manusiawi, perlahan mendapatkan hak-haknya sebagai manusia utuh. Islam juga tak mempermasalahkan ruang gerak perempuan di ranah publik, dan memberi mereka kesempatan untuk terlibat dan berpartisipasi, termasuk beribadah keluar rumah menuju masjid.

Sejarah kehidupan kaum perempuan pada masa Rasulullah ﷺ termasuk juga istri-istri beliau membuktikan kenyataan ini. Mereka berperan sebagai pengasuh anak, pebisnis, pemelihara ternak, petani, perawat, guru, dan asisten rumah tangga.

Misalnya Ritah, istri Sahabat Abdullah bin Mas’ud ra., memiliki usaha rumahan yang menjadi sumber nafkah bagi keluarganya. Ada juga Ummu Mubasyir yang memiliki usaha perkebunan kurma, dan Zainab istri Abdullah yang memberi nafkah suami dan anak yatim asuhannya. Semua ini mendapatkan persetujuan dan pujian dari Rasulullah ﷺ karena amal mereka yang terpuji. 

Manusia sebagai makhluk sosial tentu memiliki kebutuhan untuk bersosialisasi, memiliki teman, dan membangun relasi. Menjauhkan perempuan dari kebutuhan dasar ini adalah tidak manusiawi serta menyalahi nilai Islam.

Keberagaman yang Allah ciptakan bertujuan mendorong manusia agar saling mengenal. Sementara itu, manusia tidak mungkin dapat saling mengenal tanpa adanya interaksi atau sosialisasi. 

Allah berfirman: 

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ 

Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti (QS. Al-Hujurat [49]:13).

Sahabat KANAL SANTRI yang budiman, sesungguhnya Islam meletakkan perempuan dan laki-laki pada posisi setara dalam hak dan kewajibannya, kecuali apa yang memang menuntut perbedaan secara tabiat.

Keduanya sama-sama manusia yang butuh bersosialisasi dan punya hak otonomi dan partisipasi. Pembagian peran dalam relasi pasangan suami-istri tidak boleh sampai merenggut hak-hak ini, sebab tujuan pernikahan adalah untuk ketenteraman kedua belah pihak. Mengenai ketenteraman, hal ini tidak dapat diperoleh dengan cara “merumahkan” perempuan.  

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Referensi: Fiqh Perempuan, As-Sittin Al-Adliyah, Shahih Muslim, Shahih Al-Bukhari, Fatawa An-Nisa.

+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
1
+1
0
+1
1

Bagikan artikel ini

Leave a Comment